UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 06 TAHUN 2013
TENTANG
DESA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan
cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
|
|
|
b.
|
bahwa
dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang
dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi
kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang
kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera;
|
|
|
c.
|
bahwa
Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
perlu diatur tersendiri dengan
undang-undang;
|
|
|
d.
|
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Desa;
|
Mengingat
|
:
|
Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
TELAH DI KOREKSI PADA TANGGAL 17 DESEMBER 2013,
OLEH :
PEMERINTAH PIMPINAN
PANSUS
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG DESA.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Pemerintahan Desa adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Pemerintah Desa adalah
Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
4.
Badan Permusyawaratan Desa
atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi
pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
5.
Musyawarah Desa atau yang
disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
6.
Badan Usaha Milik Desa,
yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa
pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat
Desa.
7.
Peraturan Desa adalah
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas
dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8.
Pembangunan Desa adalah
upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.
9.
Kawasan Perdesaan adalah
kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber
daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
11. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan
asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
12. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,
sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber
daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
13. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
16. Menteri adalah menteri yang menangani Desa.
Pasal
2
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Pasal 3 Pengaturan Desa
berasaskan: a. rekognisi;
b.
subsidiaritas;
c.
keberagaman;
d.
kebersamaan;
e.
kegotongroyongan;
f.
kekeluargaan;
g.
musyawarah;
h.
demokrasi;
i.
kemandirian;
j.
partisipasi;
k.
kesetaraan;
l.
pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.
Pasal 4 Pengaturan Desa
bertujuan:
a.
memberikan pengakuan dan
penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah
terbentuknya
Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b.
memberikan kejelasan status
dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c.
melestarikan dan memajukan
adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Desa;
d.
mendorong prakarsa,
gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset
Desa guna kesejahteraan bersama;
e.
membentuk Pemerintahan Desa
yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f.
meningkatkan pelayanan
publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
umum;
g.
meningkatkan ketahanan
sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h.
memajukan perekonomian
masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
BAB
II KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian
Kesatu Kedudukan
Pasal
5
Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Bagian
Kedua
Jenis
Desa
Pasal
6
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.
BAB
III
PENATAAN
DESA
Pasal
7
(1)
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2)
Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan
Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4)
Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.
Pasal
8
(1) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.
(2) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa
masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat
Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
(3) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat:
a.
batas usia Desa induk
paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b.
jumlah penduduk, yaitu:
1)
wilayah Jawa paling sedikit
6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;
2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000
(seribu) kepala
keluarga;
3)
wilayah Sumatera paling
sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;
4)
wilayah Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus)
kepala keluarga;
5)
wilayah Nusa Tenggara Barat
paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
6)
wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara,
Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400
(empat ratus) kepala keluarga;
7)
wilayah Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500
(seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
8)
wilayah Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200
(dua ratus) kepala keluarga; dan
9)
wilayah Papua dan Papua
Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
c.
wilayah kerja yang memiliki
akses transportasi antarwilayah;
d.
sosial budaya yang dapat
menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
e.
memiliki potensi yang meliputi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
f.
batas wilayah Desa yang
dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan
Bupati/Walikota;
g.
sarana dan prasarana bagi
Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
h.
tersedianya dana
operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah
Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama
lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya
masyarakat Desa.
(5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui Desa persiapan.
(6) Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.
(7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga)
tahun.
(8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.
Pasal
9
Desa dapat
dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang
strategis.
Pasal
10
Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat
digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan
dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
11
(1) Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan
memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa.
(2) Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang
berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan
kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal
12
(1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa
berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana
menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan
masyarakat Desa.
(3) Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota
Pasal
13
Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan
Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.
Pasal
14
Pembentukan, penghapusan, penggabungan,
dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Pasal
15
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan
menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan
persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan
nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan
perundang-undangan.
Pasal
16
(1) Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah
paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan
Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali
dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.
(4) Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak
memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam
Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota
dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah
mengundangkannya dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
(5) Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan
Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut
dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur
dinyatakan berlaku dengan sendirinya.
Pasal
17
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan
menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan
kode Desa dari Menteri.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.
BAB
IV
KEWENANGAN
DESA
Pasal
18
Kewenangan Desa meliputi kewenangan di
bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
Pasal 19 Kewenangan Desa
meliputi:
a.
kewenangan berdasarkan hak
asal usul;
b.
kewenangan lokal berskala
Desa;
c.
kewenangan yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d.
kewenangan lain yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
20
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
Pasal
21
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan
pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh
Desa.
Pasal
22
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa
meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.
BAB
V
PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DESA
Pasal
23
Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh
Pemerintah Desa.
Pasal
24
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
berdasarkan asas: a. kepastian hukum;
b.
tertib penyelenggaraan
pemerintahan;
c.
tertib kepentingan umum;
d.
keterbukaan;
e.
proporsionalitas;
f.
profesionalitas;
g.
akuntabilitas;
h.
efektivitas dan efisiensi;
i.
kearifan lokal;
j.
keberagaman; dan
k.
partisipatif.
Bagian
Kesatu
Pemerintah
Desa
Pasal
25
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu
oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.
Bagian
Kedua Kepala Desa
Pasal
26
(1) Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berwenang:
a.
memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
b.
mengangkat dan
memberhentikan perangkat Desa;
c.
memegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d.
menetapkan Peraturan Desa;
e.
menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa;
f.
membina kehidupan
masyarakat Desa;
g.
membina ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
h.
membina dan meningkatkan
perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala
produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.
mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j.
mengusulkan dan menerima
pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa;
k.
mengembangkan kehidupan
sosial budaya masyarakat Desa;
l.
memanfaatkan teknologi
tepat guna;
m.
mengoordinasikan
Pembangunan Desa secara partisipatif;
n.
mewakili Desa di dalam dan
di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o.
melaksanakan wewenang lain
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berhak:
a.
mengusulkan struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintah
Desa;
b.
mengajukan rancangan dan
menetapkan Peraturan Desa;
c.
menerima penghasilan tetap
setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan
kesehatan;
d.
mendapatkan pelindungan
hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e.
memberikan mandat
pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berkewajiban:
a.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal
Ika;
b.
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa;
c.
memelihara ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
d.
menaati dan menegakkan
peraturan perundang-undangan;
e.
melaksanakan kehidupan
demokrasi dan berkeadilan gender;
f.
melaksanakan prinsip tata
Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien,
bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g.
menjalin kerja sama dan
koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h.
menyelenggarakan
administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i.
mengelola Keuangan dan Aset
Desa;
j.
melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k.
menyelesaikan perselisihan
masyarakat di Desa;
l.
mengembangkan perekonomian
masyarakat Desa;
m.
membina dan melestarikan
nilai sosial budaya masyarakat
Desa;
n.
memberdayakan masyarakat
dan lembaga kemasyarakatan di
Desa;
o.
mengembangkan potensi
sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p.
memberikan informasi kepada
masyarakat Desa.
Pasal
27
Dalam melaksanakan tugas, kewenangan,
hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a.
menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada
Bupati/Walikota;
b.
menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada
Bupati/Walikota;
c.
memberikan laporan
keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan
Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d.
memberikan dan/atau
menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada
masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Pasal
28
(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif
berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat
dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 29 Kepala Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b.
membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan
tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang,
tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d.
melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e.
melakukan tindakan
meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi,
dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.
menjadi pengurus partai
politik;
h.
menjadi anggota dan/atau
pengurus organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai
ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
j.
ikut serta dan/atau
terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.
melanggar sumpah/janji
jabatan; dan
l.
meninggalkan tugas selama
30 (tiga puluh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang jelas dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
30
(1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran
tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat
dilanjutkan dengan pemberhentian.
Bagian
Ketiga
Pemilihan
Kepala Desa
Pasal
31
(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh
wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan
pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa
serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
32
(1) Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa
mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam)
bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala
Desa.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bersifat
mandiri dan tidak memihak.
(4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat
Desa.
Pasal 33 Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan: a. warga negara Republik Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d.
berpendidikan paling rendah
tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e.
berusia paling rendah 25
(dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f.
bersedia dicalonkan menjadi
Kepala Desa;
g.
terdaftar sebagai penduduk
dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum
pendaftaran;
h.
tidak sedang menjalani
hukuman pidana penjara;
i.
tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih,
kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan
secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana
serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulangulang;
j.
tidak sedang dicabut hak
pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
k.
berbadan sehat;
l.
tidak pernah sebagai Kepala
Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.
Pasal
34
(1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan,
pemungutan suara, dan penetapan.
(4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas
mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang
ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih,
dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
35
Penduduk Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan suara
pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
menikah ditetapkan sebagai pemilih.
Pasal
36
(1) Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh
panitia pemilihan Kepala Desa.
(2) Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
(3) Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
37
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang
memperoleh suara terbanyak.
(2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa
terpilih.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala
Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari
setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah
menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih
kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia
pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa,
Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
Pasal
38
(1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau
pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan
keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala
Desa terpilih bersumpah/berjanji.
(3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan
sebaikbaiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu
taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Pasal
39
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung
sejak tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat
paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak
secara berturut-turut.
Bagian
Keempat
Pemberhentian
Kepala Desa
Pasal
40
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a.
meninggal dunia;
b.
permintaan sendiri; atau
c.
diberhentikan.
(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c karena:
a.
berakhir masa jabatannya;
b.
tidak dapat melaksanakan
tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama
6 (enam) bulan;
c.
tidak lagi memenuhi syarat
sebagai calon Kepala Desa; atau
d.
melanggar larangan sebagai
Kepala Desa.
(3) Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
41
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh
Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di
pengadilan.
Pasal
42
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh
Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana
korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Pasal
43
Kepala Desa yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh
Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal
44
(1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti
tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan
pengadilan diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan
mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai
dengan akhir masa jabatannya.
(2) Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus
merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.
Pasal
45
Dalam hal Kepala Desa diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sekretaris Desa
melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal
46
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun,
Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala
Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban,
dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal
47
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota
mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai
penjabat Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa.
(3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui
Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan.
(5) Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa
jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Perangkat
Desa
Pasal 48 Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa;
b.
pelaksana kewilayahan; dan
c.
pelaksana teknis.
Pasal
49
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas
membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
Pasal
50
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari
warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a.
berpendidikan paling rendah
sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b.
berusia 20 (dua puluh)
tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di
Desa paling
kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
d.
syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51 Perangkat Desa
dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b.
membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang,
tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d.
melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e.
melakukan tindakan
meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi,
dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.
menjadi pengurus partai
politik;
h.
menjadi anggota dan/atau
pengurus organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai
ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
j.
ikut serta dan/atau
terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.
melanggar sumpah/janji
jabatan; dan
l.
meninggalkan tugas selama
60 (enam puluh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang jelas dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
52
(1) Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau
teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat
dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal
53
(1) Perangkat Desa berhenti karena:
a.
meninggal dunia;
b.
permintaan sendiri; atau
c.
diberhentikan.
(2) Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c karena:
a.
usia telah genap 60 (enam
puluh) tahun;
b.
berhalangan tetap;
c.
tidak lagi memenuhi syarat
sebagai perangkat Desa; atau
d.
melanggar larangan sebagai
perangkat Desa.
(3) Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama
Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Musyawarah
Desa
Pasal
54
(1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti
oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa
untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
penataan Desa;
b.
perencanaan Desa;
c.
kerja sama Desa;
d.
rencana investasi yang
masuk ke Desa;
e.
pembentukan BUM Desa;
f.
penambahan dan pelepasan
Aset Desa; dan
g.
kejadian luar biasa.
(3) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Bagian
Ketujuh
Badan
Permusyawaratan Desa
Pasal 55 Badan Permusyawaratan
Desa mempunyai fungsi:
a.
membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama
Kepala Desa;
b.
menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat Desa; dan
c.
melakukan pengawasan
kinerja Kepala Desa.
Pasal
56
(1) Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk
Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara
demokratis.
(2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam)
tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali
secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Pasal
57
Persyaratan calon anggota Badan
Permusyawaratan Desa adalah: a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
c.
berusia paling rendah 20 (dua
puluh) tahun atau sudah pernah menikah;
d.
berpendidikan paling rendah
tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e.
bukan sebagai perangkat
Pemerintah Desa;
f.
bersedia dicalonkan menjadi
anggota Badan Permusyawaratan
Desa; dan
g.
wakil penduduk Desa yang dipilih
secara demokratis.
Pasal
58
(1) Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan
jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan)
orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan
Keuangan Desa.
(2) Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan
Bupati/Walikota.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya
bersumpah/berjanji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh
Bupati/ Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Susunan kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa
sebagai berikut:
”Demi
Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya
selaku anggota Badan
Permusyawaratan Desa dengan
sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu
taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal
59
(1) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang
ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.
(2) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara
langsung dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus.
(3) Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk
pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda.
Pasal
60
Badan Permusyawaratan Desa menyusun
peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal 61 Badan Permusyawaratan
Desa berhak:
a.
mengawasi dan meminta
keterangan tentang penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa kepada Pemerintah Desa;
b.
menyatakan pendapat atas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa; dan
c.
mendapatkan biaya
operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.
Pasal 62 Anggota Badan
Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengajukan usul rancangan
Peraturan Desa;
b.
mengajukan pertanyaan;
c.
menyampaikan usul dan/atau
pendapat;
d.
memilih dan dipilih; dan
e.
mendapat tunjangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 63 Anggota Badan
Permusyawaratan Desa wajib :
a.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.
melaksanakan kehidupan
demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c.
menyerap, menampung, menghimpun,
dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d.
mendahulukan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
e.
menghormati nilai sosial
budaya dan adat istiadat masyarakat
Desa; dan
f.
menjaga norma dan etika
dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal
64
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan warga atau
golongan masyarakat Desa;
b.
melakukan korupsi, kolusi,
dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
c.
menyalahgunakan wewenang;
d.
melanggar sumpah/janji
jabatan;
e.
merangkap jabatan sebagai
Kepala Desa dan perangkat Desa;
f.
merangkap sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g.
sebagai pelaksana proyek
Desa;
h.
menjadi pengurus partai
politik; dan/atau
i.
menjadi anggota dan/atau
pengurus organisasi terlarang.
Pasal
65
(1) Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
a.
musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa;
b.
musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa;
c.
pengambilan keputusan
dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat;
d.
apabila musyawarah mufakat
tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara;
e.
pemungutan suara
sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling
sedikit ½ (satu perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan
Permusyawaratan
Desa yang hadir; dan
f.
hasil musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan
dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan
Desa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa
diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian
Kedelapan
Penghasilan
Pemerintah Desa
Pasal
66
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap
setiap bulan.
(2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat
memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
HAK
DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT DESA
Pasal
67
(1)
Desa berhak:
a.
mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya
masyarakat Desa;
b.
menetapkan dan mengelola
kelembagaan Desa; dan
c.
mendapatkan sumber
pendapatan.
(2)
Desa berkewajiban:
a.
melindungi dan menjaga
persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan
nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat Desa;
c.
mengembangkan kehidupan
demokrasi;
d.
mengembangkan pemberdayaan
masyarakat Desa; dan
e. memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.
Pasal
68
(1) Masyarakat Desa berhak:
a.
meminta dan mendapatkan
informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
b.
memperoleh pelayanan yang
sama dan adil;
c.
menyampaikan aspirasi,
saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang
kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
d.
memilih, dipilih, dan/atau
ditetapkan menjadi:
1. Kepala Desa;
2. perangkat Desa;
3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau 4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa.
e.
mendapatkan pengayoman dan
perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
(2) Masyarakat Desa berkewajiban:
a.
membangun diri dan
memelihara lingkungan Desa;
b.
mendorong terciptanya
kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik;
c.
mendorong terciptanya
situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
d.
memelihara dan
mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan di Desa; dan
e. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.
BAB
VII
PERATURAN
DESA
Pasal
69
(1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan
bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.
(2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(4) Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan
evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
(5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan
oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.
(7) Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak
diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
(8) Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku
dengan sendirinya.
(9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat
Desa.
(10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan
Peraturan Desa.
(11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam
Berita Desa dan Lembaran Desa oleh sekretaris Desa.
(12) Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan
pelaksanaannya.
Pasal
70
(1) Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja
sama antar-Desa.
(2) Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.
BAB
VIII
KEUANGAN
DESA DAN ASET DESA
Bagian
Kesatu
Keuangan
Desa
Pasal
71
(1) Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.
Pasal
72
(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)
bersumber dari:
a.
pendapatan asli Desa
terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong,
dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b.
alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara;
c.
bagian dari hasil pajak
daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d.
alokasi dana Desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e.
bantuan keuangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Daerah
Kabupaten/Kota;
f.
hibah dan sumbangan yang
tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g.
lain-lain pendapatan Desa
yang sah.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber
dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara
merata dan berkeadilan.
(3) Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh
perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi
Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan
sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6) Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan penundaan
dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Pasal
73
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian
pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh
Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan
Permusyawaratan
Desa.
(3) Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun
dengan Peraturan Desa.
Pasal
74
(1) Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan
yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.
(2) Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar,
lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal
75
(1) Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keuangan Desa diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Aset
Desa
Pasal
76
(1) Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa,
pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil
pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset
lainnya milik Desa.
(2) Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain:
a.
kekayaan Desa yang dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Daerah,
serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b.
kekayaan Desa yang
diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c.
kekayaan Desa yang
diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
hasil kerja sama Desa; dan
e.
kekayaan Desa yang berasal
dari perolehan lainnya yang sah.
(3) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal
Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
(4) Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama
Pemerintah Desa.
(5) Kekayaan milik Desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan
untuk fasilitas umum.
(6) Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status
kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
Pasal
77
(1) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas
kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi,
efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
(2) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan
Desa.
Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan
Desa berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB
IX
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN
PERDESAAN
Bagian
Kesatu
Pembangunan
Desa
Pasal
78
(1) Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan
potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan.
(2) Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan.
(3) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan
pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Paragraf
1
Perencanaan
Pasal
79
(1) Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai
dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan
Kabupaten/Kota.
(2) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun secara berjangka meliputi:
a.
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
b.
Rencana Pembangunan Tahunan
Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Desa.
(4) Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satusatunya dokumen perencanaan di
Desa.
(5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala
lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa.
(7) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan
Kabupaten/Kota.
Pasal
80
(1) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Dalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan
Pembangunan Desa.
(3) Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas,
program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap
kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
a.
peningkatan kualitas dan
akses terhadap pelayanan dasar;
b.
pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan
sumber daya lokal yang tersedia;
c.
pengembangan ekonomi
pertanian berskala produktif;
d.
pengembangan dan
pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
e.
peningkatan kualitas
ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat
Desa.
Paragraf
2
Pelaksanaan
Pasal
81
(1) Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja
Pemerintah Desa.
(2) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat
gotong royong.
Pelaksanaan
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
(4) Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5) Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan
kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
Paragraf
3
Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan Desa
Pasal
82
(1) Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana
dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
(2) Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
Pembangunan Desa.
(3) Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan
terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa.
(4) Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah
Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui
layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling
sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(5) Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk
menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Bagian
Kedua
Pembangunan
Kawasan Perdesaan
Pasal
83
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan
antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya
mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan
masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan
partisipatif.
(3) Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
a.
penggunaan dan pemanfaatan
wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata
ruang
Kabupaten/Kota;
b.
pelayanan yang dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c.
pembangunan infrastruktur,
peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan
d.
pemberdayaan masyarakat
Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.
(4) Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan
Pemerintah Desa.
(5) Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah.
Pasal
84
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait
dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah
Desa.
(2) Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset
Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan
pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
85
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan
kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang
dilakukan oleh
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga
wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta
mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.
(3) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib
diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.
Bagian
Ketiga
Sistem
Informasi Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan
Perdesaan
Pasal
86
(1) Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi
Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem
informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
Sistem informasi
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas perangkat keras dan
perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
(4) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi
lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(5) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua
pemangku kepentingan.
(6) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi
perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.
BAB
X
BADAN
USAHA MILIK DESA
Pasal
87
(1) Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM
Desa.
(2) BUM Desa dikelola dengan
semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
(3) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau
pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal
88
(1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa.
(2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Desa.
Pasal 89 Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk: a. pengembangan
usaha; dan
b. Pembangunan Desa, pemberdayaan
masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah,
bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal
90
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan:
a.
memberikan hibah dan/atau
akses permodalan;
b.
melakukan pendampingan
teknis dan akses ke pasar; dan
c.
memprioritaskan BUM Desa
dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
BAB
XI
KERJA
SAMA DESA
Pasal
91
Desa dapat mengadakan kerja sama dengan
Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Bagian
Kesatu
Kerja
Sama antar-Desa
Pasal
92
(1) Kerja sama antar-Desa meliputi:
a.
pengembangan usaha bersama
yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;
b.
kegiatan kemasyarakatan,
pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau
c.
bidang keamanan dan
ketertiban.
(2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala
Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa.
(3) Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama
antarDesa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa.
(4) Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
membahas hal yang berkaitan dengan:
a.
pembentukan lembaga
antar-Desa;
b.
pelaksanaan program
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja
sama antar-Desa;
c.
perencanaan, pelaksanaan,
dan pemantauan program pembangunan antar-Desa;
d.
pengalokasian anggaran
untuk Pembangunan Desa, antar-
Desa, dan Kawasan
Perdesaan;
e.
masukan terhadap program
Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan
f.
kegiatan lainnya yang dapat
diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa.
(5) Dalam melaksanakan pembangunan antar-Desa, badan kerja sama
antar- Desa dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan.
(6) Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang
merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih.
Bagian
Kedua
Kerja
Sama dengan Pihak Ketiga
Pasal
93
(1) Kerja sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat
dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa.
(2) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.
BAB
XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA
ADAT DESA
Bagian
Kesatu
Lembaga
Kemasyarakatan Desa
Pasal
94
(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam
membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa.
(2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa.
(3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan
masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan
pelayanan masyarakat Desa.
(4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga
non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang
sudah ada di Desa.
Bagian
Kedua
Lembaga
Adat Desa
Pasal
95
(1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat
Desa.
(2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari
susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.
(3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan,
dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat
masyarakat Desa.
BAB
XIII
KETENTUAN
KHUSUS DESA ADAT
Bagian
Kesatu
Penataan
Desa Adat
Pasal
96
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum
adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal
97
(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi
syarat:
a.
kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b.
kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan
masyarakat; dan
c.
kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang
masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah
dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a.
masyarakat yang warganya
memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b.
pranata pemerintahan adat;
c.
harta kekayaan dan/atau
benda adat; dan/atau
d.
perangkat norma hukum adat.
(3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan
masyarakat apabila:
a.
keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai
yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undangundang yang
bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
b.
substansi hak tradisional
tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan
dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia.
(4) Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut
tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah
kesatuan politik dan kesatuan hukum yang :
a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik
lndonesia; dan
b. substansi norma hukum adatnya
sesuai dan tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal
98
(1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.
Pasal
99
(1) Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa dan
kesepakatan antar-Desa Adat.
(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan
penggabungan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
100
(1) Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat
diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat
dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang
bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih
status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan berubah menjadi Desa
Adat, kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal
Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi
kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa
Adat beralih status menjadi kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
101
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa Adat.
(2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.
(3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai
lampiran peta batas wilayah.
Pasal
102
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
Bagian
Kedua
Kewenangan
Desa Adat
Pasal
103
Kewenangan Desa
Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a
meliputi:
a.
pengaturan dan pelaksanaan
pemerintahan berdasarkan susunan
asli;
b.
pengaturan dan pengurusan
ulayat atau wilayah adat;
c.
pelestarian nilai sosial
budaya Desa Adat;
d.
penyelesaian sengketa adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras
dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara
musyawarah;
e.
penyelenggaraan sidang
perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f.
pemeliharaan ketenteraman
dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g.
pengembangan kehidupan
hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal
104
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan
memperhatikan prinsip keberagaman.
Pasal
105
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan
pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
Pasal
106
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa
Adat meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan
Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa
Adat.
(2) Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.
Bagian
Ketiga
Pemerintahan
Desa Adat
Pasal
107
Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan
Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku
di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal
108
Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan
fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa
Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal
109
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan
masa jabatan Kepala Desa Adat
berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi.
Bagian
Keempat
Peraturan
Desa Adat
Pasal
110
Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan
hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
111
(1) Ketentuan khusus tentang Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya berlaku untuk Desa Adat.
(2) Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang
tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.
BAB
XIV
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
112
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat
daerah.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:
a.
menerapkan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan
baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b.
meningkatkan kualitas
pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
dan
c.
mengakui dan memfungsikan
institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
(4) Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan
Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.
Pasal
113
Pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112
ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman dan
standar pelaksanaan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
b.
memberikan pedoman tentang
dukungan pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota
kepada Desa;
c.
memberikan penghargaan,
pembimbingan, dan pembinaan kepada lembaga masyarakat Desa;
d.
memberikan pedoman
penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
e.
memberikan pedoman standar
jabatan bagi perangkat Desa;
f.
memberikan bimbingan,
supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan
Desa, dan lembaga
kemasyarakatan;
g.
memberikan penghargaan atas
prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan
Desa, dan lembaga
kemasyarakatan Desa;
h.
menetapkan bantuan keuangan
langsung kepada Desa;
i.
melakukan pendidikan dan
pelatihan tertentu kepada aparatur
Pemerintahan Desa
dan Badan Permusyawaratan Desa;
j.
melakukan penelitian
tentang penyelenggaraan Pemerintahan
Desa di Desa
tertentu;
k.
mendorong percepatan
pembangunan perdesaan;
l.
memfasilitasi dan melakukan
penelitian dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa;
dan
m. menyusun dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM Desa dan
lembaga kerja sama Desa.
Pasal
114
Pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
melakukan pembinaan
terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
yang mengatur
Desa;
b.
melakukan pembinaan
Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa;
c.
melakukan pembinaan
peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Permusyawaratan
Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
d.
melakukan pembinaan
manajemen Pemerintahan Desa;
e.
melakukan pembinaan upaya
percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan
bantuan teknis;
f.
melakukan bimbingan teknis
bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
g.
melakukan inventarisasi
kewenangan Provinsi yang dilaksanakan oleh Desa;
h.
melakukan pembinaan dan
pengawasan atas penetapan Rancangan Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota dalam pembiayaan Desa;
i.
melakukan pembinaan
terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
j.
membantu Pemerintah dalam
rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
k.
membina dan mengawasi
penetapan pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kerja sama antar-Desa.
Pasal
115
Pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman pelaksanaan penugasan urusan
Kabupaten/Kota
yang dilaksanakan oleh Desa;
b.
memberikan pedoman
penyusunan Peraturan Desa dan
Peraturan Kepala
Desa;
c.
memberikan pedoman
penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
d.
melakukan fasilitasi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e.
melakukan evaluasi dan
pengawasan Peraturan Desa;
f.
menetapkan pembiayaan
alokasi dana perimbangan untuk Desa;
g.
mengawasi pengelolaan
Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset
Desa;
h.
melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
i.
menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga
kemasyarakatan, dan lembaga adat;
j.
memberikan penghargaan atas
prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan
Desa, lembaga
kemasyarakatan, dan lembaga adat;
k.
melakukan upaya percepatan
pembangunan perdesaan;
l.
melakukan upaya percepatan
Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan
teknis;
m. melakukan peningkatan kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama
antar-Desa; dan
n.
memberikan sanksi atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
BAB
XV
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
116
(1) Desa yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap
diakui sebagai Desa.
(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah
tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
(3) Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa melakukan inventarisasi Aset
Desa.
Pasal
117
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang sudah
ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
118
(1) Masa jabatan Kepala Desa yang ada pada saat ini tetap berlaku
sampai habis masa jabatannya.
(2) Periodisasi masa jabatan Kepala Desa mengikuti ketentuan
Undang-Undang ini.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ada pada saat ini tetap
menjalankan tugas sampai habis masa keanggotaanya.
(4) Periodisasi keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa mengikuti
ketentuan Undang-Undang ini.
(5) Perangkat Desa yang tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap
melaksanakan tugas sampai habis masa tugasnya.
(6) Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil
melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB
XVI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
119
Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib mendasarkan
dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal
120
(1)
Semua peraturan pelaksanaan
tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UndangUndang ini.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
121
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
122
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
0 komentar:
Posting Komentar