Home » » Sejarah Fikih Politik Islam Upaya Memahami Lahirnya Model Negara dalam Fikih Sunni

Sejarah Fikih Politik Islam Upaya Memahami Lahirnya Model Negara dalam Fikih Sunni


Abdul Ghofur Maimoen
A.    Mukaddimah
Salah satu persoalan besar umat Islam hingga saat ini adalah problematika fikih politik. Sejak umat Islam ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW. fikih politik tak pernah berhenti melahirkan konflik, dan tak pernah benar-benar final mencapai titik ideal. Bahkan konflik terbesar dalam Islam adalah konflik yang lahir dari perdebatan sistem politik. Imam Asy-Syahrastānī (w. 548 H./1154 M) menggambarkan perselisihan ini:
“Perselisihan kelima (dari perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Rasl, pada saat Rasulullah sakit dan paska wafatnya) adalah perselisihan mengenai ‘imamah’ (kepemimpinan), dan perselisihan terbesar dalam umat Islam adalah perselisihan mengenai kepemimpinan (ini) karena tidak pernah pedang dihunus dalam (sejarah) Islam demi memperdebatkan asas agama sebagaimana hal itu terjadi demi memperdebatkan imamah dalam setiap masa.”[1]
Tak pelak, kelahiran kelompok-kelompok besar dalam sejarah tak lepas dari hasil racikan pergolakan seputar politik Islam. Pandangan agak lain disampaikan oleh Syekh Abdul alīm Mahmūd, bahwa kelompok-kelompok yang lahir dalam sejarah Islam terbagi ke dalam dua tipe, partai agama (al-azāb ad-dīniyyah) dan tipe kelompok keagamaan (al-firaq ad-dīniyyah). Tipe pertama adalah Syi’ah dan Khawārij, sementara tipe kedua adalah Musyabbihah, Mu’tazilah, Asyā’irah, dan Madrasah Ibn Taimiyyah. Namun begitu Abdul alīm tidak mengingkari bahwa salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh tipe kedua adalah soal-soal yang erat kaitannya dengan problem politik.[2]
Pemerhati dari luar Islam juga melihat hal yang sama, yakni racikan politik sangat kental dalam melahirkan kelompok-kelompok Islam. Julius Wellhausen dalam hal ini menulis buku “The Religio-Political Opposition Parties in Early Islam, I. The Khawārij. II. Shi’ites”, yang diterjemah oleh Abdel Rahman Badawi ke dalam bahawa Arab dengan judul “Azāb al-Mu’āraah as-Siyāsiyyah ad-Dīmiyyah fī adr al-Islām; al-Khawārij wa al-Islām.” Dalam buku ini, Wellhausen memulai analisanya dari sejarah perang iffīn, di mana kelopok radikal Islam yang tidak puas dengan sistem pemerintahan dan tata sosial yang ada mengambil kesempatan peristiwa “takīm” untuk memaklumkan pandangannya “lā ukma illā lillāh.” Karen Armstrong meneropong lebih jauh lagi, yakni bahwa bibit problem politik dalam Islam lahir dari sejak Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, kehidupan Nabi Muhammad SAW. “terpaksa” harus berubah setelah keberhasilan yang luar biasa dalam membangun masyarakat Islam di Madinah. Nabi Muhammad tidak lagi hanya seorang nabi, beliau sekarang juga seorang pemimpin politik yang cerdas dan kharismatik. Sejak saat itu Islam tak lagi bisa dipisahkan dari politik, tidak seperti Nabi Isa AS. yang selama hayatnya hidup dalam naungan imperium Romawi.[3]
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas pergolakan-pergolakan politik tersebut, juga bukan untuk meneliti kelahiran kelompok-kelompok politik dan agama yang menyertainya. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas teori-teori politik yang ditelorkan oleh kelompok Sunni sebagai kelompok sentral dalam sejarah, dan tentu saja sebagai model yang diikuti oleh Nahdliyyin, dengan mengaitkannya dengan konteks sejarah yang melatari atau menyertainya. Model pendekatan ini sangat penting terutama pada era belakangan sekarang, pertama mengingat sistem politik modern yang telah berkembang-luas sehingga sejumlah kalangan merasa kesulitan mendekatkan teori-teori dalam fikih dengan kehidupan politik modern; dan kedua mengingat perlunya pengembangan-pengembangan teori fikih dengan menyadari sepenuhnya bahwa teori-teori yang telah ada adalah murni hasil ijtihad para pendahulu; dan ketiga karena jika semua ahli sejarah ilmu politik sepakat bahwa teori-teori politik erat kaitannya dengan perkembangan realita politik, maka hal demikian menemukan kebenarannya yang sulit terbantahkan dalam fikih politik Islam. Muhammad iyāuddīn ar-Rīs menyebut teori-teori politik Islam dan perjalanan sejarah politik Islam sebagai dua sisi mata uang, atau dua bagian dimana salah satunya melengkapi yang lainnya.[4]
B.     Muhammad SAW. Nabi atau Pemimpin Politik?
Pertanyaan ini seperti tidak lazim dalam studi kitab turats. Hampir semua kitab turats menyatakan, Nabi Muhammad adalah pemimpin politik di samping pemimpin keagamaan. Membuka bab-bab dan fasal-fasal dalam buku fikih akan segera kita temukan pembahatsan tentang qaā’, syahādāt, da’āwā,  bayyināt dan lain sebagainya yang amat bertalian dengan sistem pemerintahan dan kenegaraan. Sejumlah ulama bahkan menulis buku khusus tentang sistem negara seperti Imam Al-Māwardī (w. 450 H.) dan Abū Ya’lā al-Farrā’ (w. 458 H.). Lebih tegas lagi, Imam Al-Qarrāfī (w. 684 H.) menulis buku “al-Ikām fī Tamyīz al-Fatāwā ‘an al-Akām wa Taarruf al-Qāī wa al-Imām”, yang tegas membedakan mana pernyataan Nabi Muhammad sebagai seorang imam dan mana pernyataan Nabi Muhammad sebagai hakim. Seperti disampaikan sebelumnya, politik Islam atau politik Islam adalah realitas yang menghegemoni semenjak keberhasilan Nabi Muhammad SAW. membangun masyaratak Islam Madinah. Kenyataan ini tidak saja diterima sebagai relalitas tetapi dalam perjalanannya juga diterima sebagai sebuah konsep ajaran (fikih). Ibn Khaldūn dalam mendefinisikan khilafah dengan tegas mengawinkan antara agama dan politik sebagai warisan Nabi Muhammad SAW. Pernyataannya:
“Khilafah sejatinya adalah mengganti pembawa syara’ (āib asy-syar’) dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengannya (dengan agama).”[5]
Sepengetahuan penulis, pertanyaan ini baru muncul paska tumbangnya Khilafah Utsaminaya Turki tahun 1924. ‘Ali Abdul Rāziq (w. 1966), penghulu syar’ī lulusan Universitas al-Azhar, pada tahun 1925 merilis bukunya yang sangat terkenal, al-Islam wa Uūl al-ukm. Dalam bukunya ini, dia mempertanyakan: “apakah Nabi Muhammad SAW. seorang raja atau bukan?”; dan juga secara tegas menyatakan: “kerasulan adalah satu hal dan kerajaan (politik) adalah hal yang lain; Nabi Muhammad adalah seorang Rasul bukan seorang Raja.”[6] Dalam perspektif fikih Sunni, pertanyaan ini tampak konyol, dimana akan menabrak banyak konsensus-konsensus dalam fikih. Dalam hal ini, Imam al-Qarrāfī membagi sikap dan pernyataan Rasulullah SAW. ke dalam empat kategori; pertama: fatwa, yaitu kabar tentang hukum agama yang beliau sampaikan dari Allah SWT. berdasarkan dalil-dalil yang beliau temukan; kedua tabligh, yaitu tuntutan kerasulan yang berarti perintah Allah SWT. kepada Nabi untuk menyampaikan pesan. Nabi dalam hal ini hanya sebagai pembawa berita; ketiga: hukum atau sebuah putusan. Ini berbeda dari fatwa dan tabligh, yang keduanya adalah murni penyampaian (dari nabi) dan murni mengikutinya (dari para pengikut nabi). Sementara putusan adalah menciptakan sebuah putusan hukum yang harus diikuti oleh yang bersangkutan (dengan perangkat kekuasaan); dan keempat adalah kategori imamah (kepemimpinan pemeritahan), yakni kebijakan dan pernyataan yang berkenaan dengan kemaslahatan umum, seperti membunuh para pemberontak, membuka lahan baru untuk pemukiman, dan lain sebagainya.[7] Kategorisasi demikian ini yang mengakui keberadaan Rasul sebagai pemimpin pemerintahan sangat penting dalam perspektif fikih, karena tanpa menimbang itu mengikuti Rasulullah SAW. dengan benar amat sulit dan justru akan mengacaukan syariah. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya sosial-politik jika setiap orang berhak menumpas pemberontakan dengan dalih mengikuti Rasul tanpa memperhatikan kapasitas.
Namun begitu, pertanyaan dan pernyataan seperti disampaikan oleh ‘Ali Abdul Rāziq menjadi penting melihat pertanyaan selanjutnya yang terinspirasi dari itu: jika Nabi Nabi Muhammad SAW. adalah pemimpin negara, lalu apa dan bagaimana sistem negara itu? ‘Ali Abdul Rāziq dengan tegas menyampaikan bahwa sejumlah hal penting dalam sistem kenegaraan absen dalam nash-nash yang ada; tak ada penjelasan tentang sistem pengangkatan hakim dan gubernur; tak ada penjelasan mengenai sistem syūrā yang dinyatakan dalam al-Quran (QS. Syūrā/ 42: 38 dan QS. li ‘Imrān/ 3: 159); juga tak ada penjelasan tentang sistem peralihan kekuasaan.[8]
C.    Khilafah Islamiyyah
Pada penjelasan sebelumnya dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah pemimpin politik di samping pemimpin keagamaan. Dua status ini melekat pada diri Rasul SAW. terutama setelah hijrah ke Madinah. Para sejarawan membagi fase dakwah Rasul ke dalam dua fase; pertama fase Makkah; dan kedua fase Madinah. Dua fase ini saling melengkapi, yang pertama sebagai fase persiapan dan penguatan akidah, dan fase kedua sebagai fase pembentukan umat serta penjabaran dan pelaksanaan ide-ide. Pada fase kedua umat Islam telah mampu berdiri-sendiri dan memiliki independensi yang sangat kuat. Kepemimpinan Rasulullah SAW. berkaitan dengan politik dengan demikian semakin tegas, setegas kepemimpinan beliau berkaitan dengan agama. Bisa dikatakan bahwa beliau adalah pemimpin yang sangat kuat dan menonjol, dalam dua sisi kehidupan sekaligus, agama dan politik. Tak heran jika kesenjangan antara yang ideal dan realitanya menyempit.
Ketika kemudian Rasulullah SAW. berpulang ke Hadirat Qudus, beliau meninggalkan dua kepemimpinan tersebut, agama dan politik. Penerusnya harus mengemban keduanya secara bersamaan, dan itu tentu saja sangat berat. Tidak saja karena dua beban itu sendiri memang berat, tetapi karena keduanya dijalankan oleh Rasulullah SAW. dengan sempurna. Ini yang melatar-belakangi syarat-syarat ideal yang begitu rumit dan serasa mustahil dalam kepemimpinan negara dalam Islam.
Genealogi demikian dipaparkan oleh Ibn Khaldūn dalam Mukaddimahnya, fasal ke dua puluh lima tentang makna khilafah dan imamah: Kekuasaan memiliki kecenderungan lalim dan pemaksaan kehendak; undang-undang dan produk hukumnya secara umum keluar dari peri-keadilan. Untuk itu diperlukan sebuah lanskap politik dan perundang-undangan yang disepakati bersama. Negara yang tak memiliki perundang-perundangan dan lanskap politik yang jelas akan segera musnah. Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS. Al-Azāb/ 33: 62). Lanskap politik dan perundang-undangan ini jika ditetapkan oleh para negarawan, politikus dan filsuf, maka demikian ini disebut dengan politik-rasional (konvensional); dan jika ditetapkan oleh Allah SWT. melalui para nabi-nabi yang mengundangkannya maka disebut dengan politik-agama yang memberi manfaat dunia dan akherat. Yang terakhir ini lah yang harus diikuti oleh umat Islam, mengingat tujuan makhluq tidak saja duniawi tetapi juga akherat. Untuk itu perlu mendengarkan aturan-aturan Islam hingga dalam urusan kenegaraan yang tampak (hanya) merupakan kebutuhan natural dalam sosial-kemasyarakatan[9]. Ibn Khaldūn menyimpulkan:

Pemerintahan yang berdasarkan kesemena-menaan, pemaksaan kehendak, dan menepikan kekuatan elemen masyarakat (al-quwwah al-‘aabiyyah) adalah lalim dan mencederai hak umat. Yang demikain ini adalah tercela; dan pemerintahan yang berdasarkan kesepakatan (konsensus) politik dan perundang-undangannya juga tercela karena tidak mengikuti petunjuk cahaya Allah. (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. An-Nūr/ 24: 40) … ; dan pemerintahan khilafah adalah (pemerintahan yang) mendorong semua masyarakat kepada tuntutan analisis syar’ī (an-naar asy-syar’ī) baik dalam urusan akherat maupun urusan duniawi. Khilafah dengan demikian sejatinya adalah mengganti pembawa syara’ (āib asy-syar’) dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengannya (dengan agama).”[10]
Penjelasan semacam ini mengarah kepada hukum wajibnya mendirikan khilafah secara syar’ī, yakni bahwa menggantikan tugas Rasulullah SAW. dalam urusan agama dan politik adalah wajib secara agama. Beberapa argumen disampaikan untuk mendukungnya. Pertama QS. An-Nisā`/ 4: 59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” Imam Al-Bukhārī meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās, bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Abdullah bin uāfah yang diutus oleh Rasulullah SAW. untuk memimpin sebuah angkatan perang, hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “ulil amri” adalah pemimpin pemerintahan.[11]
Kedua Sunnah Rasulullah SAW. Imam al-Māwardī menyebut satu Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Abū Harairah: “Akan memimpin kalian setelah diriku pemimpin-pemimpin, maka akan memimpin kalian orang yang baik dengan kebaikannya, dan akan memimpin kalian orang yang durhaka dengan kedurhakaannya. Dengarkan dan taati mereka dalam setiap hal yang sesuai dengan haq. Jika mereka berbuat baik maka (pahala) untuk kalian dan untuk mereka, dan jika mereka berbuat keburukan maka (pahala) untuk kalian dan (dosa) bagi mereka.”[12] Hadis ini adalah aif, seperti dijelaskan oleh pentahqiqnya, Amad Gād. Hadīṡ-ḥadīṡ lain bisa diajukan, seperti Hadī: “Barangsiapa meninggal dunia dan dia tidak terikat dengan satu baiat (kepada imam) maka dia mati dengan kematian jahiliyah.”[13]
Ketiga ijma’. Saifuddin al-‘Āmidī menjelaskan, setelah wafatnya Rasulullah SAW. umat Islam generasi itu sepakat bahwa tidak boleh ada kekosongan umat dari pengganti Rasulullah SAW. Abu Bakar ra. dalam khutbahnya yang terkenal menyampaikan: “ingat! Muhammad sudah wafat, dan agama ini harus ada sosok yang bertanggung-jawab terhadap pelaksanaannya (man yaqūmu bihī).[14] Belakangan sejumlah tokoh menyampaikan ketidak-wajiban mengangkat seorang khalifah, seperti Al-Aamm dan Khawārij di luar kelompok An-Najadāt. Akan tetapi mereka lahir setelah ijma’ para sahabat, dan dalam perspektif ushul fikih demikian ini tidak dianggap.







[1] Asy-Syahrastānī, Muhammad bin Abdul Karim, Al-Milal wa An-Niḥal, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1403 H.) Tahqiq: Muhammad Sayyid Kailānī, juz 1, hal. 20.
[2] Abdul Ḥalīm Mahmūd, At-Tafkīr al-Falsafī fi al-Islām, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt.), vol. II, hal. 75 dan sesudahnya.
[3] Karen Armstrong, Muhammad A Biography of The Prophet, Alih bahasa: Dr. Fathima Nasr dan Dr. Muhammad ‘Annānī, dengan judul Sīrah an-Nabī Muhammad, (Kairo: Syarikah Suṭūr, 1998 M.) vol. II, hal. 247. Pandangan yang umum menganggap bahwa fase pertama, yakni fase Mekkah, sebagai fase pembentukan ide-ide, sementara fase kedua, yakni fase Medinah, sebagai fase implementasi. Fase kedua dengan demikian merupakan keniscayaan sejarah sebagai realisasi ide-ide fase pertama, bukan merupakan fase kehidupan yang terjadi secara kebetulan.
[4] Dr. Muhammad Ḍiyāuddīn ar-Rīs, An-Naẓariyyāt as-Siyāsiyyah al-Islāmiyyah, (Kairo: Dār at-Turāṡ, tt.), vol. VII, hal. 23.
[5] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Maktabah Syāmilah, hal. 97.
[6] ‘Alī Abdur Rāziq, ­Al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm, (Beirut: Al-Mu’assasah al-`Arabiyyah li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2000, Dirāsat Dr. Muhammad ‘Imārah, hal. 144, 154.
[7] Al-Qarrāfī, al-Iḥkām fī Tamyīz al-Fatāwā ‘an al-Aḥkām wa Taṣarruf al-Qāḍī wa al-Imam,(Beirut: Dār al-Basyā’ir al-Islāmiyyah, 1995), vol. II, hal. 99, 100, dan 105.
[8] ‘Alī Abdur Rāziq: 2000, hal. 150.
[9] Ibn Khaldūn: Maktabah Syāmilah, hal. 96-97.
[10] Ibn Khaldūn, Muqaddimah, Maktabah Syāmilah, hal. 97. Redaksi Imam Al-Māwardī: “Al-imāmah dileselanggarakan untuk mengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, tt), hal. 15.
[11] Al-Bukhārī, Al-Jāmi’ Aṣ-Ṣaḥīḥ, (Beirut: Dār Ibn Kaṡīr, 1987), Jilid 4, hal. 1674; Al-Māwardī: hal. 16; Syekh Muḥammad al-Khaḍr Ḥusain, Naqd Kitāb al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm, dalam Muḥammad ‘Imārah, Ma’rakah al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm, (Kairo: Dār Asy-Syurūq, 1997), hal. 240.
[12] Al-Māwardī, hal. 16.
[13] Muslim, Al-Musnad aṣ-Ṣaḥīh, Beirut: Dār Iḥyā at-Turāṡ al-‘Arabī, jilid 3, hal. 1478.
[14] Saifuddin al-‘Āmidī, Gāyah al-Marām fī ‘Ilm al-Kalām, (Kairo: al-Majlis al-A’lā li asy-Syu`ūn al-Islāmiyyah, 1391 H.), hal. 364.

0 komentar:

Posting Komentar

Flicker Images

Contact